TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH ANALISIS JENDER
“Perempuan
di Mata Hukum”
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA”APMD”
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap manusia memiliki HAM tanpa terkecuali. HAM
yang dimiliki setiap orang ini harus mampu dipahami sebagai harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Dimana didalamnya mengandung suatu hak dan
kewajiban yang selayaknya untuk dilindungi keutuhannya sebagai hak milik
seseorang.
Secara umum perlindungan terhadap HAM setiap orang
ini dapat melalui hukum atau aturan yang berlaku baik formal maupun nonformal.
Perlindungan yang diberikan harus bersifat netral yakni tidak
membedakan-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain bahwa
seharusnya dimata hukum laki-laki dan perempuan. Dimana keduanya harus
ditempatkan seimbang atau setara. Namun pada kenyataannya masih banyak
ketidaksetaraan yang terjadi di dalam hukum atau aturan yang berlaku. Sehingga
menimbulkan ketidakadilan-ketidakadilan terhadap salah satu pihak yakni
perempuan cenderung dinomorduakan.
Sehingga agar supa tidak terjadi ketidakadilan dalam terhadap perempuan karena
hukum atau aturan, maka dipandang perlu adanya hukum yang berkeadilan gender.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka dapat ditarik
sebuah rumusan masalah bagaimana posisi
perempuan didalam hukum di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Jika berbicara soal perempuan di mata hukum, maka
kita harus melihat posisi atau keberadaan perempuan secara utuh dalam kehidupan
sosialnya. Dalam kehidupan bersosial berarti perempuan itu merupakan anggota keluarga,
masyarakat kecil, dan negara. Ketiga dimensi ini harus mampu dilihat secara
seimbang. Sebab dalam tiap dimensi mengandung status, peran, hak, serta kewajiban
yang berbeda-beda. Dimana semuanya itu menjadi bagian penting untuk mencapai
kebermaknaan kehidupan seseorang. Sehingga perlu adannya suatu keadilan
terhadap status, peran, hak, serta kewajiban tersebut salah satunya dengan
adanya hukum yang melindunginya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa
terkadang justru keterikatan perempuan dalam hukum menimbulkan ketidakadilan
dan mendiskriminasikan perempuan.
Undang-undang dasar 1945 menganut prinsip kesamaan
hak, hal ini dapat kita lihat pada pasal 27 ayat 1 dan 2, pasal 30 ayat 1 dan
pasal 31 ayat 1. Pasal 27 ayat 1 menyebutkan nahwa segala warga negara bersama
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan baik tidak ada kecualinya. Ayat 2 menyebutkan bahwa tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal
31 ayat 1 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Secara umum dilihat dari sudut pandang hak asasi
manusia bahwa setiap orang memiliki hak dan kedudukan yang sama. Artinya bahwa seharusnya
perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki dihadapan
hukum. Namun pada kenyataannya dalam catatan sejarah perempuan selalu berada
dalam posisi yang tidak menguntungkan. Perempuan di pandang sebagai kaum yang
berada di posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan dianggap sangat bergantung
pada laki-laki. Bahkan perempuan dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
Sehingga tidak heran jika sering kita dengar terjadinya kesewenang-wenangan
yang dilakukan terhadap perempuan. Sehingga tujuan dari adanya hak asasi
manusia dengan prinsip non diskriminasi yang menjadi bagian terpenting di
dalamnya menjadi sangat bertentangan.
Sejauh ini antara hukum negara dan hukum adat
mengenai perempuan sering terjadi benturan. Hal ini juga menjadi problema yang
serius yang dihadapi kaum perempuan. Keadaan yang saling berbenturan ini akan
menjadi kegalauan besar pada diri perempuan. Salah satu contohnya nya pada
daerah yang menganut sistem patrialkhal yang menjadi salah satu hukum
keluarganya. Dimana dapat terjadi benturan dalam hukum warisan nantinya.
Di daerah dengan sistem patrineal pada umumnya yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki saja. tetapi bukan berarti anak
perempuan tidak mendapat apa pun juga. Biasanya mereka diberi barang-barang yang
berharga saat perkawinan atau sebagai pemberian pada waktu lain, misalnya suku
batak Toba yang memberikan tanah kepada anak perempuan yang menikah dan anak
perempuan yang lahir pertama. Sedangkan dalam hukum negara bahwa anak perempuan
dan anak laki-laki dari seorang peninggal waisan bersama-sama berhak atas harta
warisan dalam artian bahwa bagian anak laki sama dengan anak perempuan
(Keputusan MA No. 179/K/SIP1961).
Secara umum memang banyak hukum lainnya yang
mengatur tentang perempuan namun sangat disayangkan bahwa masih banyak juga
hukum tersebut yang ternyata bias jender. Sehingga tugas besar bagi para
redaksi hukum untuk kedepannya adalah bagaimana agar mampu menciptakan hukum
yang memang benar-benar berkeadilan jender baik secara pemaknaan dan
pelaksanaannya.
Eksistensi hukum yang mengatur perempuan yang kini
ada juga tidak bisa lepas dari konteks perjuangan perempuan. Sehingga studi-studi
tentang perempuan/ kewanitaan sangat urgen dalam upaya melakukan pembaharuan hukum
yang berkaitan dengan perempuan karena bagaimanapun input data yang jelas
dibutuhkan dalam upaya melahirkan / memperkenalkan nilai serta gerakan yang
akan berkembang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahwa
pada dasarnya secara hukum formal wanita memiliki hak dan kedudukan yang sama
di mata hukum. Namun pada kenyataannya bahwa seringkali hukum formal/ negara
bertentangan dengan hukum adat yang berlaku. Sehingga menimbulkan kegalauan
pada diri seorang wanita.
Eksistensi hukum yang mengatur perempuan yang kini
ada juga tidak bisa lepas dari konteks perjuangan perempuan. Sehingga
studi-studi tentang perempuan/ kewanitaan sangat urgen dalam upaya melakukan
pembaharuan hukum yang berkaitan dengan perempuan karena bagaimanapun input
data yang jelas dibutuhkan dalam upaya melahirkan / memperkenalkan nilai serta
gerakan yang akan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Widanti,
Agnes. 2005. Hukum Berkeadilan Jender. Jakarta : Kompas.
Suwondo,Nani.
1981. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta :
Ghalia
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar